Wawancara Ekslusif dengan Iwan Fals
[ARTIKEL] Rambutnya mulai kelabu. Garis-garis halus perjalanan hidupnya kini juga sudah mulai terpahat di wajahnya yang tenang. Kata-kata yang keluar pun selalu apa adanya dan berakhir dengan kesederhanaan. Sikapnya juga memantulkan kerendahan hati sebagaimana layaknya ia sebagai seorang legenda hidup.
Demikian kini sosok Virgiawan Listanto atau yang biasa dikenal sebagai Iwan Fals, penyanyi yang biasa menyuarakan kritik-kritik sosial, yang oleh Majalah TIME Asia edisi 29 April 2002, pernah dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Asia (Asian Heroes) yang disejajarkan dengan sosok legenda hidup Asia lainnya seperti San Suukyi, Hidetoshi Nakata, Jackie Chan hingga Pramoedya Ananta Toer.
Sosok dan lagu-lagunya sering diidentikkan dengan Bob Dylan, penyanyi balada Amerika yang juga suka menyuarakan kritik-kritik sosial. Bob Dylan juga merupakan sosok idola bagi ayah bagi tiga anak ini. Kendati kini lagu-lagu terakhirnya tidak “segarang” dahulu, namun bukan berarti dia melupakan atau tidak mempedulikan apa yang sesungguhnya tengah terjadi di negerinya sendiri. Dengan segenap kemampuannya sebagai pekerja seni, dia tetap memberikan yang terbaik yang bisa dia lakukan. Merasakan kembali panggung besar bersama grup band anak muda Slank, dia ikut melakukan konser amal : Bersatu dalam Damai, untuk membantu para korban tsunami di Aceh yang hingga kini masih terpuruk dan terhimpit dalam kesulitan hidup pasca bencana. Target Rp 3 milyar diinginkannya dalam konser amal ini.
Disela jadwal turnya yang padat itulah, Alam Sumatera secara eksklusif diberi kesempatan untuk mewawancarainya beberapa saat setelah dia dan rombongannya baru tiba di Jambi usai menempuh enam jam perjalanan dari Palembang lewat jalan darat beberapa waktu lalu. Bukan hanya ikut memberikan dukungan bagi konsernya tetapi juga ingin mengetahui lebih jauh pandangannya terhadap berbagai permasalahan lingkungan dan alam yang sering diabaikan oleh sebagian besar masyarakat negeri ini. Dalam sekian lagu yang diciptakan, begitu banyak lagu-lagu terdahulunya juga menyoroti masalah hutan, lingkungan dan orang-orang tertindas. Rasanya semua itu, masih terasa aktual untuk didendangkan.
Dan sepanjang berbicara dengan Iwan Fals bisa dipastikan akan terus “nyambung” apa pun temanya. Karena dia jelas sangat rajin baca (berita), nonton TV dan mengamati perkembangan yang ada di Indonesia selama 44 tahun perjalanan hidupnya. Karena jika anda mengamati lagu-lagunya maka jelas kita seperti diajak melihat catatan-catatan peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri tercinta ini. Tentu saja lengkap dengan perenungan khas seorang Iwan. Berikut wawancara yang dilakukan oleh Musfarayani dan Invicta Sudjarwati.
Alam Sumatera (AS) : Sebagai pekerja seni bagaimana pandangan Bang Iwan sendiri melihat bencana tsunami dan masalah lingkungan yang ada di Indonesia ini?
Iwan Fals (IF) : Penting benar mempertahankan hutan bakau di sekitar pantai, juga pengetahuan tentang laut yang sama pentingnya. Saya hanya melihat hikmah itu saja yang saya dapat dari kejadian tsunami itu. Apalagi di sana banyak sekali pantai. Lalu kesiapan (badan-badan) sosial, atau badan-badan penyelamat jadi tidak gugup dalam kondisi seperti itu. Itu pelajaran yang berharga. Aku melihatnya seperti itu.
Kalau soal perjalanan ini (konser amal untuk Aceh bersama Slank), yah…kita berusaha cari uang, berusaha walau sedikit untuk membangun infrastruktur, meski (sementara) persoalan mental itu juga enggak gampang, yah. Apalagi saya dengar juga banyak warisan-warisan budaya di sana juga hilang karena kejadian itu.
AS : Seharusnya memang kalau punya pengetahuan berkaitan dengan tsunami,mungkin tidak perlu terjadi…..
IF : Yah…harusnya begitu. Begitu air laut surut, kita kan bisa lari ke gunung, umpamanya. Pagi-pagi bangun. Tapi kita tidak tahu soal itu.
AS : Ada kesempatan bagi Bang Iwan sebagai pekerja seni untuk bisa melakukan sesuatu untuk membantu masyarakat Aceh. Tapi tidak semua masyarakat yang bisa. Mau membantu tapi tidak tahu cara melakukannya. Bagaimana perasaan Bang Iwan punya kesempatan ini?
IF : Yah banyak. Aku pikir semua orang di Indonesia ini melakukan sesuatu. Paling enggak ikut berpikir tentang itu. Saya enggak bisa bilang seneng atau sedih, yah. Sekarang, bagaimana kita membantu ini. Karena ini tidak menyangkut sebulan dua bulanan tapi lima tahunan atau puluhan tahun. Saya hanya menyimpan stamina saja jika diperlukan sambil terus mengamati persoalan sumbangan dari luar. Bukan persoalan ini saja tapi ini juga sudah jadi persoalan dunia, semua orang membantu. Tapi kan, belum cair atau apa namanya begitu.
Kita targetnya sampai bulan April (konser amal untuk Aceh bersama Slank). Perjalanan kita ini sampai 3 April. Walaupun sebagian orang yang dikunjungi sudah capek yah, dengan persoalan ini.
AS: Mungkin beralih dengan lagu-lagu Bang Iwan sendiri. Kita mengikuti perkembangan lagu Bang Iwan hingga sekarang. Ada perubahan warna romantik dalam lagu Bang Iwan belakangan ini. Kesannya sekarang kurang “galak” dalam menciptakan lagu. Apakah itu juga ada semacam perubahan pandangan Bang Iwan terhadap kondisi bangsa ini, apakah ini sesuatu yang bagus, atau sesuatu yang sebenarnya bagi Bang Iwan sudah cukup dan tidak perlu ada kritik lagi?
IF : Secara prinsip, saya sih, enggak ada perubahan. Artinya saya berjalan saja sesuai dengan apa yang saya tahu, sesuai dengan umur saya. Saya mengikuti alam sajalah. Saya tidak pernah memaksakan. Tapi memang betul bahwa setelah ada tur di 36 kota dulu, Satu Hati Satu Rasa (di 32 kota dari 24 Mei-24 Agustus 2002-red), saya dapat kesempatan melihat banyak daerah.
Setelah perjalanan itu saya merenung dan berpikir, ternyata semua orang mampu menyelesaikan masalahnya. Semua orang bisa menjawab persoalannya. Jadi sesungguhnya orang yah, kalau enggak parah-parah banget tidak perlu bantuan. Orang bisa hidup dengan menjual rokok, menambal ban, atau hidup di tepi hutan karet. Mereka bisa hidup, bisa tertawa, bisa gembira.
Jadi, setelah saya melihat seperti itu, saya jadi agak takut. Agak takut memberikan kritik-kritik. Karena, ‘Ah, sok ngritik’, naahh gitu kan (Iwan tertawa). Atau, ‘Sok kaya lu!’. Ada yang kayak gitu, ‘Aku mampu, kok’. Ada orang yang enggak suka digituin. ‘Aku enggak perlu bantuan kamu,’ ‘Aku enggak perlu diginiin, aku bisa hidup’. Jadi agak hati-hati. Saya lebih cenderung keperenungan.
AS : Artinya Bang Iwan sendiri melihat bahwa bangsa kita ini, rakyatnya sudah bisa membela dirinya sekarang ini?
IF : Ya! Yang perlu dikiritik adalah mungkin penguasa atau pengelola negara. Persoalan bagaimana membuat jalan benar saja mereka enggak bisa. Itu yang perlu dikritik. Tapi kalau persoalan masyarakat, mereka sudah siap sekali. Bahkan mereka enggak ngeluh. Bukan berarti mereka tidak bisa bicara meski ada anggapan mereka tidak bisa bicara. Sudah terlalu sering mereka digitukan. Tapi tidak ada waktu untuk itu. Mereka (rakyat) sudah sibuk bekerja untuk mengelola dirinya sendiri.
Tapi harapan saya kepada pengelola negara, mentang-mentang rakyatnya siap, mentang-mentang rakyaknya tabah, jangan lantas mereka jadi sewenang-wenang gitu. Malah ini model awal pengelola negara untuk bisa kerja lebih siap lagi. Bisa dibayangkan kalau umpamanya rakyatnya gampang berkeluh kesah. Bisa lebih susah lagi bagi pengelola negara. Kau siap, kau beri jelek aja, aku siap. Apalagi kau beri aku kebaikan, aku lebih siap. Jadi ini sebenarnya poin yang baik buat pengelola bangsa ini.
Karena saya melihatnya seperti itu, ok, kalau gitu, saya melihat ke dalam diri saya. Mungkin berkomunikasi dengan yang terlihat oleh saya. Depan mata saya. Yah, mungkin keluarga, mungkin tuhan, misalnya. Itu sebabnya. Walaupun saya masih baca koran, lihat televisi. Lihat orang-orang pedalaman ada, kan? Kita maksudnya ingin kasih mereka pinter tapi malah jadi salah. Soal hidup bagaimana hidup, ternyata mereka lebih jago daripada kita (Iwan terkekeh).
AS : Bang Iwan punya pengalaman dengan orang-orang pedalaman?
IF : Langsung enggak. Tapi kalau ditelevisi itu kalau ada acara-acara itu saya suka nonton. Artinya kalau kita mau masuk ke pedalaman itu, mungkin, kita harus belajar dulu kearifan di situ. Kita harus tahu persis apa kebutuhannya, jangan langsung apa yang tidak mereka butuhkan (Iwan terkekeh lagi) malah diberikan.
AS : Belum lama ini kita menggelar acara forum-forum suku-suku asli dimana mereka tinggal di pedalaman. Kondisi mereka pas sekali dengan lagu Bang Iwan, “Balada Orang Pedalaman”. Lagu itu ternyata masih aktual dengan kondisi mereka yang hingga kini masih termarginalkan. Apa ada ingin yang dikedepankan lagi oleh Bang Iwan dengan masyarakat yang termarginalkan?
IF : Iyaa, akhirnya jadi penebalan jadinya saya, dari balada pedalaman. Tadinya yah, saya pikir hanya kasihan. Tapi ternyata setelah melihat sekarang ini jadi benar-benar kasihan. Karena benar-benar hutannya dirambah, diambil, akhirnya terpinggir, pinggir dan akhirnya mereka marah dan malah jadi kriminal atau apa.
AS : Apakah ada kelelahan dari Bang Iwan sendiri ketika banyak tuntutan dari masyarakat, fans agar Bang Iwan menyuarakan orang-orang terpinggir ini lagi?
IF : Iya. Kemarin saya ngomong sama istri saya (Rosana atau akrab dipanggil Yos-red) di kamar. Diperjalanan. Mungkin kita bersuara ini lagi. Terus terang ini mafia semua. Sadar enggak sadar, lingkungan kita ini sudah sangat parah sekali. pengelolaannya, alamnya. Saya tanya ke istri saya (Iwan nyengir), capek enggak kamu? dia bilang yah capek, tapi mau gimana lagi. Ini sudah panggilan, ini harus berjalan. Jangan hanya karena segelintir orang terus kita lantas menyerah. Yah sudah terimakasih saja dan bersyukur saja. Saya bicarain ini dua hari lalu
AS : Tanggapan istri Bang Iwan?
IF : Yah dia juga capek. Umpamanya nih, kita datang untuk pertunjukan bantu Aceh. Penontonnya yang datang 100 ribu yang beli tiket cuma 5000 doang. Yang lainnya nerobos melulu, itu di beberapa kota ada kayak gitu. Saya bilang, ini rampok namanya (Iwan terkekeh). Sementara keamanannya segala macam bukannya bantu malah ikut. Itu baru soal musik. Saya bisa bayangin bagaimana yang illegal logging, bagaimana soal KKN yang lain-lain, ini baru persoalan musik aja udah begitu, apalagi persoalan yang tidak terlihat. Ini yang terlihat di depan langsung. Kan, kata orang dulu musik itu santapan raja-raja (Iwan ketawa). Tapi walaupun itu santapan raja-raja buat saya kan, enggak berlaku sama sekali. Saya hanya melihat dari musik, mudah-mudahan saya bisa melihat kehidupan.
AS: Abang tampaknya mengikuti semua perkembangan di Indonesia, apakah juga mengikuti perkembangan soal illegal logging dan bagaimana tanggapan abang?
IF : Enggak ada jalan lain kecuali menanam kembali. Karena tidak ada istilah telat buat yang hidup. Kalau tumbuh-tumbuhan itu kan, usianya bisa ratusan tahun. Tidak ada pilihan lain kecuali ditanam sekarang. Segala yang ada di dalam hutan sekarang sudah habis semua. Dengan ditanam kembali, bukan hanya tumbuh-tumbuhan yang akan hidup tapi kehidupan lain yang bisa menunjang keseimbangan alam bisa terjaga. Ini bukan mustahil ini bisa jadi hal konkret dan nyata.
Sebab kita butuh udara yang sehat. Hutan itu paru-paru kita. Ini sudah jadi kebutuhan. Mulai sekarang kita harus menanam meski sedaun atau hanya sebiji.
AS : Mengikuti juga gebrakan pemerintah sekarang dalam memerangi illegal logging?
IF : Saya enggak detil mengikuti. Cuma yang terakhir yang saya ikuti sampai ke Papua, kan? Artinya banyak media yang mengabarkan itu semua. Gue pikir orang juga enggak mau bunuh diri, kan? Setelah kamu punya uang, ok, kamu mau ngapain? Setelah habis-habisan, kamu rambah semua. Setelah kamu kaya, masa kamu ingin hidup di alam yang tandus? Kalau alamnya hancur kamu juga hancur. Jadi, makan itu tuh, uang! Jadi bunuh diri, namanya.
Yah, gua pikir ini persoalan bersama-sama. Hanya masalah ketidaktahuan kita. Persoalan hutan kita kan, setelah kita menanam kembali, orang yang hidup dari hutan itu juga harus hidup lagi. Penebang kayu gantinya apa, kalau pemerintah sudah tahu, enggak masalah. Penebang kayu juga butuh pohon, kok (pohon sebagi paru-paru manusia).
AS : Menurut Bang Iwan apa pemerintah sudah maksimal memerangi Illegal logging dan masalah lingkungan yang kini telah menjadi bencana bagi masyarakat?
IF : Saya bukan pakarnya. Tapi yang saya tahu Pak Ka’ban (MS Ka’ban-Menhut-red) itu orang sederhana dan cukup berpikir untuk orang lain. Mudah-mudahan ini jadi baik. Kalau orang sesederhana Pak Kaban… yah kita lihat saja. Saya sih, berharap banyak.
AS: Terakhir, arti alam dan hutan bagi Bang Iwan?
IF : Yang saya tahu bahwa dalam hidup ini ada hukum alam besar, kecil, sosial. Jika kita melanggar hukum-hukum ini akan menjadi neraka bagi kita. Jika kita melanggar hukum sosial malah akan tersingkir dari masyarakat. Melanggar alam kecil hukum kita sendiri juga ada balasannya. Tidak bisa kita melawan alam. [Source : http://www.warsi.or.id/ Foto-foto: Askarinta Adi/Dok.WARSI] ***
Demikian kini sosok Virgiawan Listanto atau yang biasa dikenal sebagai Iwan Fals, penyanyi yang biasa menyuarakan kritik-kritik sosial, yang oleh Majalah TIME Asia edisi 29 April 2002, pernah dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Asia (Asian Heroes) yang disejajarkan dengan sosok legenda hidup Asia lainnya seperti San Suukyi, Hidetoshi Nakata, Jackie Chan hingga Pramoedya Ananta Toer.
Sosok dan lagu-lagunya sering diidentikkan dengan Bob Dylan, penyanyi balada Amerika yang juga suka menyuarakan kritik-kritik sosial. Bob Dylan juga merupakan sosok idola bagi ayah bagi tiga anak ini. Kendati kini lagu-lagu terakhirnya tidak “segarang” dahulu, namun bukan berarti dia melupakan atau tidak mempedulikan apa yang sesungguhnya tengah terjadi di negerinya sendiri. Dengan segenap kemampuannya sebagai pekerja seni, dia tetap memberikan yang terbaik yang bisa dia lakukan. Merasakan kembali panggung besar bersama grup band anak muda Slank, dia ikut melakukan konser amal : Bersatu dalam Damai, untuk membantu para korban tsunami di Aceh yang hingga kini masih terpuruk dan terhimpit dalam kesulitan hidup pasca bencana. Target Rp 3 milyar diinginkannya dalam konser amal ini.
Disela jadwal turnya yang padat itulah, Alam Sumatera secara eksklusif diberi kesempatan untuk mewawancarainya beberapa saat setelah dia dan rombongannya baru tiba di Jambi usai menempuh enam jam perjalanan dari Palembang lewat jalan darat beberapa waktu lalu. Bukan hanya ikut memberikan dukungan bagi konsernya tetapi juga ingin mengetahui lebih jauh pandangannya terhadap berbagai permasalahan lingkungan dan alam yang sering diabaikan oleh sebagian besar masyarakat negeri ini. Dalam sekian lagu yang diciptakan, begitu banyak lagu-lagu terdahulunya juga menyoroti masalah hutan, lingkungan dan orang-orang tertindas. Rasanya semua itu, masih terasa aktual untuk didendangkan.
Dan sepanjang berbicara dengan Iwan Fals bisa dipastikan akan terus “nyambung” apa pun temanya. Karena dia jelas sangat rajin baca (berita), nonton TV dan mengamati perkembangan yang ada di Indonesia selama 44 tahun perjalanan hidupnya. Karena jika anda mengamati lagu-lagunya maka jelas kita seperti diajak melihat catatan-catatan peristiwa besar yang pernah terjadi di negeri tercinta ini. Tentu saja lengkap dengan perenungan khas seorang Iwan. Berikut wawancara yang dilakukan oleh Musfarayani dan Invicta Sudjarwati.
Alam Sumatera (AS) : Sebagai pekerja seni bagaimana pandangan Bang Iwan sendiri melihat bencana tsunami dan masalah lingkungan yang ada di Indonesia ini?
Iwan Fals (IF) : Penting benar mempertahankan hutan bakau di sekitar pantai, juga pengetahuan tentang laut yang sama pentingnya. Saya hanya melihat hikmah itu saja yang saya dapat dari kejadian tsunami itu. Apalagi di sana banyak sekali pantai. Lalu kesiapan (badan-badan) sosial, atau badan-badan penyelamat jadi tidak gugup dalam kondisi seperti itu. Itu pelajaran yang berharga. Aku melihatnya seperti itu.
Kalau soal perjalanan ini (konser amal untuk Aceh bersama Slank), yah…kita berusaha cari uang, berusaha walau sedikit untuk membangun infrastruktur, meski (sementara) persoalan mental itu juga enggak gampang, yah. Apalagi saya dengar juga banyak warisan-warisan budaya di sana juga hilang karena kejadian itu.
AS : Seharusnya memang kalau punya pengetahuan berkaitan dengan tsunami,mungkin tidak perlu terjadi…..
IF : Yah…harusnya begitu. Begitu air laut surut, kita kan bisa lari ke gunung, umpamanya. Pagi-pagi bangun. Tapi kita tidak tahu soal itu.
AS : Ada kesempatan bagi Bang Iwan sebagai pekerja seni untuk bisa melakukan sesuatu untuk membantu masyarakat Aceh. Tapi tidak semua masyarakat yang bisa. Mau membantu tapi tidak tahu cara melakukannya. Bagaimana perasaan Bang Iwan punya kesempatan ini?
IF : Yah banyak. Aku pikir semua orang di Indonesia ini melakukan sesuatu. Paling enggak ikut berpikir tentang itu. Saya enggak bisa bilang seneng atau sedih, yah. Sekarang, bagaimana kita membantu ini. Karena ini tidak menyangkut sebulan dua bulanan tapi lima tahunan atau puluhan tahun. Saya hanya menyimpan stamina saja jika diperlukan sambil terus mengamati persoalan sumbangan dari luar. Bukan persoalan ini saja tapi ini juga sudah jadi persoalan dunia, semua orang membantu. Tapi kan, belum cair atau apa namanya begitu.
Kita targetnya sampai bulan April (konser amal untuk Aceh bersama Slank). Perjalanan kita ini sampai 3 April. Walaupun sebagian orang yang dikunjungi sudah capek yah, dengan persoalan ini.
AS: Mungkin beralih dengan lagu-lagu Bang Iwan sendiri. Kita mengikuti perkembangan lagu Bang Iwan hingga sekarang. Ada perubahan warna romantik dalam lagu Bang Iwan belakangan ini. Kesannya sekarang kurang “galak” dalam menciptakan lagu. Apakah itu juga ada semacam perubahan pandangan Bang Iwan terhadap kondisi bangsa ini, apakah ini sesuatu yang bagus, atau sesuatu yang sebenarnya bagi Bang Iwan sudah cukup dan tidak perlu ada kritik lagi?
IF : Secara prinsip, saya sih, enggak ada perubahan. Artinya saya berjalan saja sesuai dengan apa yang saya tahu, sesuai dengan umur saya. Saya mengikuti alam sajalah. Saya tidak pernah memaksakan. Tapi memang betul bahwa setelah ada tur di 36 kota dulu, Satu Hati Satu Rasa (di 32 kota dari 24 Mei-24 Agustus 2002-red), saya dapat kesempatan melihat banyak daerah.
Setelah perjalanan itu saya merenung dan berpikir, ternyata semua orang mampu menyelesaikan masalahnya. Semua orang bisa menjawab persoalannya. Jadi sesungguhnya orang yah, kalau enggak parah-parah banget tidak perlu bantuan. Orang bisa hidup dengan menjual rokok, menambal ban, atau hidup di tepi hutan karet. Mereka bisa hidup, bisa tertawa, bisa gembira.
Jadi, setelah saya melihat seperti itu, saya jadi agak takut. Agak takut memberikan kritik-kritik. Karena, ‘Ah, sok ngritik’, naahh gitu kan (Iwan tertawa). Atau, ‘Sok kaya lu!’. Ada yang kayak gitu, ‘Aku mampu, kok’. Ada orang yang enggak suka digituin. ‘Aku enggak perlu bantuan kamu,’ ‘Aku enggak perlu diginiin, aku bisa hidup’. Jadi agak hati-hati. Saya lebih cenderung keperenungan.
AS : Artinya Bang Iwan sendiri melihat bahwa bangsa kita ini, rakyatnya sudah bisa membela dirinya sekarang ini?
IF : Ya! Yang perlu dikiritik adalah mungkin penguasa atau pengelola negara. Persoalan bagaimana membuat jalan benar saja mereka enggak bisa. Itu yang perlu dikritik. Tapi kalau persoalan masyarakat, mereka sudah siap sekali. Bahkan mereka enggak ngeluh. Bukan berarti mereka tidak bisa bicara meski ada anggapan mereka tidak bisa bicara. Sudah terlalu sering mereka digitukan. Tapi tidak ada waktu untuk itu. Mereka (rakyat) sudah sibuk bekerja untuk mengelola dirinya sendiri.
Tapi harapan saya kepada pengelola negara, mentang-mentang rakyatnya siap, mentang-mentang rakyaknya tabah, jangan lantas mereka jadi sewenang-wenang gitu. Malah ini model awal pengelola negara untuk bisa kerja lebih siap lagi. Bisa dibayangkan kalau umpamanya rakyatnya gampang berkeluh kesah. Bisa lebih susah lagi bagi pengelola negara. Kau siap, kau beri jelek aja, aku siap. Apalagi kau beri aku kebaikan, aku lebih siap. Jadi ini sebenarnya poin yang baik buat pengelola bangsa ini.
Karena saya melihatnya seperti itu, ok, kalau gitu, saya melihat ke dalam diri saya. Mungkin berkomunikasi dengan yang terlihat oleh saya. Depan mata saya. Yah, mungkin keluarga, mungkin tuhan, misalnya. Itu sebabnya. Walaupun saya masih baca koran, lihat televisi. Lihat orang-orang pedalaman ada, kan? Kita maksudnya ingin kasih mereka pinter tapi malah jadi salah. Soal hidup bagaimana hidup, ternyata mereka lebih jago daripada kita (Iwan terkekeh).
AS : Bang Iwan punya pengalaman dengan orang-orang pedalaman?
IF : Langsung enggak. Tapi kalau ditelevisi itu kalau ada acara-acara itu saya suka nonton. Artinya kalau kita mau masuk ke pedalaman itu, mungkin, kita harus belajar dulu kearifan di situ. Kita harus tahu persis apa kebutuhannya, jangan langsung apa yang tidak mereka butuhkan (Iwan terkekeh lagi) malah diberikan.
AS : Belum lama ini kita menggelar acara forum-forum suku-suku asli dimana mereka tinggal di pedalaman. Kondisi mereka pas sekali dengan lagu Bang Iwan, “Balada Orang Pedalaman”. Lagu itu ternyata masih aktual dengan kondisi mereka yang hingga kini masih termarginalkan. Apa ada ingin yang dikedepankan lagi oleh Bang Iwan dengan masyarakat yang termarginalkan?
IF : Iyaa, akhirnya jadi penebalan jadinya saya, dari balada pedalaman. Tadinya yah, saya pikir hanya kasihan. Tapi ternyata setelah melihat sekarang ini jadi benar-benar kasihan. Karena benar-benar hutannya dirambah, diambil, akhirnya terpinggir, pinggir dan akhirnya mereka marah dan malah jadi kriminal atau apa.
AS : Apakah ada kelelahan dari Bang Iwan sendiri ketika banyak tuntutan dari masyarakat, fans agar Bang Iwan menyuarakan orang-orang terpinggir ini lagi?
IF : Iya. Kemarin saya ngomong sama istri saya (Rosana atau akrab dipanggil Yos-red) di kamar. Diperjalanan. Mungkin kita bersuara ini lagi. Terus terang ini mafia semua. Sadar enggak sadar, lingkungan kita ini sudah sangat parah sekali. pengelolaannya, alamnya. Saya tanya ke istri saya (Iwan nyengir), capek enggak kamu? dia bilang yah capek, tapi mau gimana lagi. Ini sudah panggilan, ini harus berjalan. Jangan hanya karena segelintir orang terus kita lantas menyerah. Yah sudah terimakasih saja dan bersyukur saja. Saya bicarain ini dua hari lalu
AS : Tanggapan istri Bang Iwan?
IF : Yah dia juga capek. Umpamanya nih, kita datang untuk pertunjukan bantu Aceh. Penontonnya yang datang 100 ribu yang beli tiket cuma 5000 doang. Yang lainnya nerobos melulu, itu di beberapa kota ada kayak gitu. Saya bilang, ini rampok namanya (Iwan terkekeh). Sementara keamanannya segala macam bukannya bantu malah ikut. Itu baru soal musik. Saya bisa bayangin bagaimana yang illegal logging, bagaimana soal KKN yang lain-lain, ini baru persoalan musik aja udah begitu, apalagi persoalan yang tidak terlihat. Ini yang terlihat di depan langsung. Kan, kata orang dulu musik itu santapan raja-raja (Iwan ketawa). Tapi walaupun itu santapan raja-raja buat saya kan, enggak berlaku sama sekali. Saya hanya melihat dari musik, mudah-mudahan saya bisa melihat kehidupan.
AS: Abang tampaknya mengikuti semua perkembangan di Indonesia, apakah juga mengikuti perkembangan soal illegal logging dan bagaimana tanggapan abang?
IF : Enggak ada jalan lain kecuali menanam kembali. Karena tidak ada istilah telat buat yang hidup. Kalau tumbuh-tumbuhan itu kan, usianya bisa ratusan tahun. Tidak ada pilihan lain kecuali ditanam sekarang. Segala yang ada di dalam hutan sekarang sudah habis semua. Dengan ditanam kembali, bukan hanya tumbuh-tumbuhan yang akan hidup tapi kehidupan lain yang bisa menunjang keseimbangan alam bisa terjaga. Ini bukan mustahil ini bisa jadi hal konkret dan nyata.
Sebab kita butuh udara yang sehat. Hutan itu paru-paru kita. Ini sudah jadi kebutuhan. Mulai sekarang kita harus menanam meski sedaun atau hanya sebiji.
AS : Mengikuti juga gebrakan pemerintah sekarang dalam memerangi illegal logging?
IF : Saya enggak detil mengikuti. Cuma yang terakhir yang saya ikuti sampai ke Papua, kan? Artinya banyak media yang mengabarkan itu semua. Gue pikir orang juga enggak mau bunuh diri, kan? Setelah kamu punya uang, ok, kamu mau ngapain? Setelah habis-habisan, kamu rambah semua. Setelah kamu kaya, masa kamu ingin hidup di alam yang tandus? Kalau alamnya hancur kamu juga hancur. Jadi, makan itu tuh, uang! Jadi bunuh diri, namanya.
Yah, gua pikir ini persoalan bersama-sama. Hanya masalah ketidaktahuan kita. Persoalan hutan kita kan, setelah kita menanam kembali, orang yang hidup dari hutan itu juga harus hidup lagi. Penebang kayu gantinya apa, kalau pemerintah sudah tahu, enggak masalah. Penebang kayu juga butuh pohon, kok (pohon sebagi paru-paru manusia).
AS : Menurut Bang Iwan apa pemerintah sudah maksimal memerangi Illegal logging dan masalah lingkungan yang kini telah menjadi bencana bagi masyarakat?
IF : Saya bukan pakarnya. Tapi yang saya tahu Pak Ka’ban (MS Ka’ban-Menhut-red) itu orang sederhana dan cukup berpikir untuk orang lain. Mudah-mudahan ini jadi baik. Kalau orang sesederhana Pak Kaban… yah kita lihat saja. Saya sih, berharap banyak.
AS: Terakhir, arti alam dan hutan bagi Bang Iwan?
IF : Yang saya tahu bahwa dalam hidup ini ada hukum alam besar, kecil, sosial. Jika kita melanggar hukum-hukum ini akan menjadi neraka bagi kita. Jika kita melanggar hukum sosial malah akan tersingkir dari masyarakat. Melanggar alam kecil hukum kita sendiri juga ada balasannya. Tidak bisa kita melawan alam. [Source : http://www.warsi.or.id/ Foto-foto: Askarinta Adi/Dok.WARSI] ***
Labels: Artikel
[Baca Selengkapnya]