| Data Diri | Biografi | Diskografi | Info Acara | Berita |  

    | 

« Kembali ke Muka | IWAN FALS : THE ROLLING STONE INTERVIEW » | Konser Global Warming Iwan Fals, 8 Desember 2007 » | Iwan Fals: Calon Presiden RI 2009? » | Selamat Idul Fitri 1428 H » | Lebaran Bersama Iwan Fals di Trans TV dan Trans 7 » | Oi Peduli Gempa Bengkulu & Padang » | Selamat Ulang Tahun Iwan Fals yang ke-46 » | Pembunuh Munir Harus Segera Diungkap! » | SEJARAH LOGO Oi DAN PROFIL PEMBUATNYA » | Selamat Ulang Tahun Oi! »

Selamatkan (Kualitas) Musik Indonesia!

Kuatnya desakan untuk menebar ratapan cinta, bahkan menjebak Ahmad Dhani yang konon punya misi mencerdaskan selera musik Indonesia, untuk ikut melahirkan karya yang mulai terlihat picisan seperti yang terlihat pada projek "Munajat Cinta" bersama The Rock. Kencangnya tuntutan produser telah pula memaksa musisi sekaliber Iwan Fals untuk merelakan setengah sisi dari album "50:50" diisi oleh lagu-lagu jualan.

Lihat di http://www.pikiran-rakyat.co.id edisi 23 Desember 2007

Oleh UKON AHMAD FURKON

SEANDAINYA saat ini Harmoko masih menjadi Menteri Penerangan, boleh jadi dia tengah berpikir untuk kembali mengeluarkan peraturan sebagaimana pernah ia terbitkan pada dekade 1980-an, melarang peredaran lagu pop cengeng. Melalui tulisan ini kita tentu tidak sedang mempertimbangkan opsi larang-melarang yang tak punya tempat dalam peradaban budaya maju. Akan tetapi, bahwa lagu-lagu cengeng kembali meruyak dan semakin menguat dalam satu tahun terakhir, itu adalah fakta yang tak terbantahkan.

Homogenitas pilihan tema serta penggunaan kata dan kalimat yang miskin dan serampangan, begitu mudah kita temukan. Di banyak lagu, terhidang kata-kata tipikal seperti "maaf", "bintang", dll. Demikian pula dengan tema yang melulu cinta, terutama yang berkisah soal pupusnya harapan cinta, patah hati, cinta bertepuk sebelah tangan, ratapan akan datangnya seorang kekasih, atau malah lebih "menye-menye" lagi.

Rasa prihatin layak pula disematkan pada sisi musikalitas. Untuk mencoba eksis, sepertinya ada formula instan, yakni racikan musik melankolis dan mendayu-dayu. Kita tak habis pikir ketika suatu grup band yang telah membawa musik cengeng pada kadar yang semakin parah, dengan kualitas musikal dan vokal yang sangat pas-pasan, justru laku di pasaran.

Kita juga heran mengapa musisi sekaliber Melly Goeslaw dan Anto Hoed yang dulu sempat melahirkan karya-karya provokatif dan cerdas lewat grup Potret, kini terlihat begitu "ngejar setoran" lewat projek "jual tampang" bernama "Bukan Bintang Biasa" (BBB).

Apa yang tengah terjadi pada musik Indonesia? Apakah selera penikmat musik sedang terjerembab pada titik terendah, idealisme para musisi telah semakin terdegradasi, ataukah kuasa para pemilik modal tambah dominan dan semakin berorientasi uang?

Perangkap Siklus

Menyibak kembali lembaran sejarah, sepertinya perjalanan musik Indonesia terperangkap dalam suatu siklus. Di tahun 1970-an, musik kita sempat mencatatkan tinta emas dengan lahirnya karya-karya bermutu seperti "Badai Pasti Berlalu" garapan Eros Djarot dkk, projek Guruh Gipsy, "Ken Arok"-nya Harry Roesli, repertoar Yockie Soeryoparyogo bertitel "Musik Saya adalah Saya", hingga ajang Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang melahirkan musisi-musisi andal.

Namun, di era 1980-an musik kita tak kuasa membendung serbuan lagu mendayu-dayu. Dengan bantuan acara-acara musik di TVRI seperti Aneka Ria Safari, Selekta Pop, dan Kamera Ria, lagu-lagu seperti "Hati yang Luka" (Betharia Sonata), "Gelas-gelas Kaca" (Nia Daniaty), "Jangan Sakiti Hatinya" (Iis Sugianto), atau "Antara Benci dan Rindu" (Ratih Purwasih) mampu membius pasar musik. Pencipta lagu seperti Obbie Messakh, Deddy Dores, Rinto Harahap, dan Pance Pondaag pun mengecap popularitasnya.

Sampai akhirnya Harmoko yang menjabat Menteri Penerangan saat itu mengeluarkan kebijakan untuk membredel lagu-lagu cengeng seperti itu. Memasuki era 1990-an musik Indonesia mendapatkan angin segar. Saat itu bermunculan musisi-musisi berpendirian. Ketika ruang berkesenian masih dihantui represi, musisi saat itu justru mampu menempatkan album sebagai sarana berekspresi, berpendapat, dan punya posisi penting dalam kehidupan secara keseluruhan. Totalitas mereka berikan untuk melahirkan karya-karya yang bermutu, dari mulai konsep musik, lirik, artwork sampul album, hingga video klip. Begitu banyak eksplorasi hingga terlahir karya-karya yang bergizi.

Lantas, kita memiliki KLA Project dengan lagu-lagu cinta universalnya yang dalam dan menyentuh. Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Swami, Slank, hingga Kantata Takwa dengan kontemplasi dan protes-protes sosialnya, juga sederet nama lain yang layak dibanggakan seperti Dewa 19, Gigi, hingga Padi.

Di Bandung, Pas Band menjadi inspirator lahirnya gerakan bermusik independen di tanah air lewat mini album legendaris bertitel "4 Through The Sap".

Menginjak awal milenium baru, sepertinya serbuan pop cengeng mendayu-dayu kembali mengencang. Begitu banyak pendatang baru yang hadir dengan pola seperti itu sampai akhirnya disempurnakan oleh kehadiran Kangen Band.

Kuatnya desakan untuk menebar ratapan cinta, bahkan menjebak Ahmad Dhani yang konon punya misi mencerdaskan selera musik Indonesia, untuk ikut melahirkan karya yang mulai terlihat picisan seperti yang terlihat pada projek "Munajat Cinta" bersama The Rock. Kencangnya tuntutan produser telah pula memaksa musisi sekaliber Iwan Fals untuk merelakan setengah sisi dari album "50:50" diisi oleh lagu-lagu jualan. Barangkali ini merupakan trik Iwan untuk sedikit berkompromi mengingat iklim musik yang tidak bersahabat. Namun, akan jauh lebih membanggakan jika Iwan mampu "istiqomah" dan kembali ke "khittah"-nya.

Beruntung, sepanjang tahun 2007 masih ada beberapa nama yang menawarkan titik cerah di tengah kesumpekan. Para musisi yang lebih senior boleh tertunduk malu karena titik cerah itu justru dihadirkan oleh penyanyi belia bernama Sherina lewat album "dewasa" pertamanya, "Primadona".

Berbeda dengan sebagian besar penyanyi, Sherina mencipta sendiri sebagian besar musik, lirik, dan aransemennya. Hasilnya, suatu karya out of the box, dengan sajian musik yang elegan dan lirik-lirik yang tidak pasaran.

Selanjutnya ada Padi yang kembali memberi pelajaran bagaimana cara bermain musik yang baik dan benar. Lewat album baru mereka, "Tak Hanya Diam", Padi mengusung sajian musik gemilang dengan lirik-lirik yang semakin menunjukkan kepedulian pada masalah-masalah sosial.

Beberapa album lain yang masih membangkitkan kebanggaan pada musik pop tanah air antara lain album "Hari yang Cerah" (Peterpan), "Peace, Love `n Respect" (Gigi), "Televisi" (Naif), "Free Your Mind" (Maliq & D`essentials), dan "Slow but True" (Slank).

Di jalur indie, dua jempol layak diberikan kepada band bernama Efek Rumah Kaca yang menelurkan album dengan titel yang sama. Lewat album tersebut, Efek Rumah Kaca menawarkan pilihan lirik dan nada yang atmosferik dan dalam. Ada lagu "Cinta Melulu" yang dengan jitu mengkritik kondisi musik Indonesia saat ini. "Di Udara" yang memberikan apresiasi pada perjuangan almarhum Munir, serta sederet lagu-lagu berkelas lainnya.

Peran Media

Terperosoknya kualitas musik Indonesia yang semakin kentara dalam satu tahun terakhir, bukan semata tanggung jawab musisi, penikmat, dan produser musik. Gugatan layak pula dialamatkan kepada media, baik cetak maupun elektronik. Mencerdaskan pasar musik, justru semakin rajin melakukan aksi pembodohan melalui acara-acara hiburan yang melulu mengobral gosip dan kehidupan pribadi artis.

Jika kita amati, dari puluhan acara infotainment yang saat ini eksis di televisi, tercatat hanya acara "Show Biz News" (Metro TV) yang mampu menjalankan perannya dengan baik. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan (kualitas) musik Indonesia, media punya andil besar.

Di tahun 2008, sinergi seperti itu semoga mulai menemukan bentuknya, terlebih infrastruktur musik semakin mendukung. Jaringan internet dan perkembangan teknologi digital menjadi modal penting bagi musisi untuk keluar dari tekanan para pemodal besar. Sementara itu, barcode PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi & Pencipta Lagu Republik Indonesia) yang mulai diberlakukan pada album musik yang mampu mengawasi hasil penjualan secara lebih presisi dan transparan, menempatkan musisi pada posisi yang semakin berdaya dalam tata niaga musik di tanah air. ***

Penulis, pemerhati musik, tinggal di Bandung, bekerja di Jakarta.


Labels:

[Baca Selengkapnya]

salam kenal
blognya bagus :)
saya dapat link blog ini dari blog-indonesia.com
kapan2 baca blog saya juga ya
makasih :)

Gw setuju dgn tulisan Mas Ukon.
Kebetulan gw baru balik dari Indonesia, minggu kemarin waktu di jakarta teman2 ngajak ke cafe with life music, ya elah lagu2 yg dibawakan ma penyanyi cafe adalah lagu2 baru seperti "Munajat Cinta" terus adalagi kalau ga salah judul lagunya "Dokter Cinta", gw sempat nanya ke teman gw, ini lagu dangdut ya? terus dia bilang bukan ini lagu2 ciptaan Dhani. Dalam hati gw ya ampun lirik dan musik nya koq ga berkualitas bgt???

Saya rasa komentar Mas Ukon terlalu berlebihan dan kritiknya "seolah-olah" mengklaim memiliki pemahamam yang sempurna tentang musik, lirik, dlsb.

Secara singkat, menurut pemahaman saya yg sederhana, karya musik, film, sinetron, novel atau karya seni lain (dan termasuk juga karya-karya atau tulisan2 dlm ilmu sosial) pada dasarnya adalah sebuah "penggambaran yang sederhana" tentang realitas atau fenomena kemanusian dan sosial yang diamati oleh sang penulis/seniman. Sebagai sebuah penggambaran yg sederhana, sebuah "lagu" (dalam hal ini lirik-nya) tentunya mencoba "menyederhanakan" realitas kemanusian yang kompleks ke dalam kata-kata yang singkat. Oleh karenanya, sebuah kisah cinta seseorang yang sesungguhnya rumit dan panjang, dapat ditangkap dan disederhanakan oleh pengarang lagu menjadi sekitar 3 sampai 5 menit. Jadi, pada intinya lagu adalah sebuah "model" atau representasi sederhana dari kenyataan sosial, yang sesungguhnya lebih rumit.

Berdasarkan pemahaman ini saya memandang bahwa kenyataan "menjomblo" yang direpresentasikan dengan kata-kata "ku sendiri" dalam lagu Munajat Cinta karya Dhani adalah fenomena yang sangat wajar dalam kehidupan manuasia. Menurut saya banyak sekali orang yang mengalami "slalu pupus" dalam kehidupan percintaannya. Dalam kondisi seperti ini adalah sangat biasa/lumrah apabila mereka bermunajat kepada Tuhan untuk "kirimkan lah kekasih yang baik hati". What's wrong with this lyric?? Saya rasa, lagu Munajat Cinta adalah termasuk sebuah model atau representasi sederhana dari realitas cinta dan pengharapan yang biasa dialami orang. Dengan demikian sebagai seorang seniman Dhani berhasil "memotret" realitas tersebut.

Coba sekarang kita bahas lagu Send Me tha Pilow that you dream on....(Everly Brothers). Lagu ini kelihatan aneh dan tidak menggambarkan realitas sesungguhnya, sebab mana mungkin seseorang minta dikirim bantal. Ini bukan sekedar cengeng, tapi tidak masuk akal. Namun, jangan salah!! Metafora adalah hal yang biasa dalam karya seni. Jangan kita terlalu mudah menilai buruk contoh lagu Send me the pilow tsb sbg lagu yg tidak masuk akal. Sebagai suatu gaya metafor, tentu penggunaan "bantal" adalah sangat klop dengan dunia "mimpi"; dan mimpi biasanya bersifat indah. Dengan demikian si pengarang lagu mencoba memodelkan bahwa banyak orang berharap bahwa realitas percintaannya indah, seindah mimpi yang dialami pacarnya dalam tidurnya....dst

Jadi menurut saya, kita tidak usah terdikotomi dengan mazab lagu cengeng dan lagu tidak cengeng yg seolah-olah berkualitas. Masalah kualitas sebenarnya adalah hanya semata-mata persepsi pendengar: it's all about perception!! Sederhananya, asalkan sebuah lagu sudah memenuhi prinsip-prinsip "harmonik" (keselarasan perpaduan nada) menurut hemat saya lagu tersebut sulit untuk dikatakan jelek (dari segi musikalitas). Mengenai kualitas lirik? Walawualamm..... Sekali lagi, it's all about perception!!

Coba sekarang perhatikan lirik2 lagu punk yg nihilism, Grunger yang "angst" atau Mod revival yang narcissism; semuanya bahkan banyak yang lebih kacau(bukan sekedar cengeng tapi men"ngeri"kan). Namun pengamat sana tidak melihat dari sisi negative-nya dan tidak memberikan judgment yang bersifat sarat nilai subjektivitas. Justru mereka mengobservasinya dengan seobjektif mungkin, bahwa genre "punk" pun mencoba merepresentasikan secara sederhana (atau memodelkan) fenomena sosial jamannya.

Barangkali akan lebih menarik bila Mas Ukon memberikan komentar non bias dan bebas citarasa dengan memberikan penekanan pada aspek musikalitas (contohnya chord progression). Dr segi chord progression, karya Dhani dalam lagu Munajat Cinta saya rasa sama dengan lagu "Let It Be Me". Namun bila dikaji lagi "root"-nya saya rasa ini berasal dari chord progression Canon-nya Pacebel. Sesungguhnya, sengaja atau tidak, banyak musisi kita yg terinspirasi dr Canon/Pacebel. Coba mas Ukon perhatikan/observasi deh. Contohnya lagu terkenalnya Niji (Biarlah), Samson (Kenangan Yag Terindah), D’Cinnamon- (Selamanya Cinta), banyak bagian dalam lagu tsb yang juga Pacebelism.

OK, saya sudah kepanjangan. Inti-nya sebagai pengamat musik, sebaiknya jangan terlalu mudah terjebak dengan memberi komentar yang bersifat bias dan sarat persepsi. Komentar demikian tak ubahnya seperti komentar seorang Harmoko (tentang lagu cengeng) atau Habibi (tentang ketidaksukaannya dengan nge-Rap). Mereka yang notabene tidak paham musik secara mendalam tentu wajar bila berkomentar demikian, karenba mereka bukan pengamat, tapi kalangan awam. Namun komentar seorang yang "the so called" pengamat musik tentunya tidaklah demikian, karena yang demikian itu tak lain merupakan bentuk "censorship" terselubung yang banyak dicoba dibangun oleh kalangan-kalangan tertentu pada waktu sebelumnya.

Finally, just listen to the music/song. If you like it, just stay tune and continue listening. If you don't like it, just go!!!!

JM

Ternyata perdebatan antara Penulis artikel ini (Ukon) dengan JM masih berlanjut. Ada dan bisa baca di link/blog UKONISME: http://ukonisme.blogspot.com/2007/12/selamatkan-kualitas-musik-indonesia.html

This comment has been removed by the author.

kini banyak band-band indie mengekspresikan dirinya dengan musik rock...mereka berkata jenuh dengan keadaan musik indonesia yang tiap hari ditayangkan dilayar Tv dan lagunya pun itu2 melulu(pop cangeng)...ada kajadian yang boleh dibilang,"kasian deh loe"...cuma karena ingin cepat tenar dan menjadi seleb dadakan,teman gw rela menghabiskan ratusan juta rupiah demi popularitas...album pertama kurang laku,di album kedua banyak label yang menolak album tersebut...dengan alasan tidak mau meraih kegagalan yang kedua kalinya.kasiannn...
Ada Band indie yang sangat benci sekali dengan keadaan musik indonesia saat ini...Nama bandnya Joni Kemon...gw dapet lagu Joni Kemon secara ngga sengaja beli di emperan2 toko...ternyata lirik2nya berupa kritik pedas terhadap Label,artis Pop cengeng dan band2 jaman sekarang... "Selamatkan (Kualitas) Musik Indonesia!"

Post a Comment

Arsip Bulanan

Sejak Februari 2007

Web Site Hit Counters

falsmania sedang online