Wawancara Iwan Fals di Tahun 1990-an
[ARTIKEL] Berikut ini adalah wawancara Iwan Fals yang cukup panjang dan menarik yang dilakukan sekitar tahun 1996 oleh majalah Ummat. Semoga Bermanfaat. -Redaksi-
Iwan Fals : "Saya Suka Hijau, Kuning Merah..."
Angin pagi dan rintik hujan membasahi lapangan Simpruk, Kompleks Pertamina, Kebayoran Lama. Sosok lelaki berbadan tegap itu menatap dengan nanar lapangan sepak bola yang dilumuri rintik hujan. Dia biarkan kumis dan jenggotnya tak beraturan, dengan tinggi badan 175 cm dan berat 65 kg. Juga rambutnya yang panjang.
"Kita pulang saja. Cuaca tak memungkinkan kita latihan pagi ini," ujarnya
lirih, sambil membuka pintu mobilnya.
Mobil Troover tahun 1992 warna metalik itu pun bergerak perlahan. Dan di
antara deru mesin mobil, juga tegur sapa para penjaja koran, sayup-sayup
terdengar nyanyian:
Hutanku rusak langitku bocor makanan yang aku makan tercemar ... Suara dalam
lirik lagu Hijau yang agak berat dan parau itu keluar dari lelaki bernama
Virgiawan Listanto , yang lebih dikenal dengan Iwan Fals itu.
Lagu dan album Hijau itu, yang ia buat hanya beberapa jam, konon album
termahal yang pernah ada dalam industri musik kita. Kabarnya album Hijau itu
laku Rp 300 juta. "Entahlah. Aku nggak tahu kalau sudah masuk ke persoalan
itu. Laguku laku atau tidak, itu soal kedua. Yang pertama, fungsiku
mencip~ta dan menyanyikannya," tutur Iwan ketika didesak soal kebenaran
angka jutaan pada album Hijau.
Sosok Iwan Fals memang tak bisa lepas dari rimba per~bincangan musik
Indonesia kontemporer. Terutama syair yang ia tebarkan ke wilayah publik,
yang selalu diwarnai kegalauan, kegamangan jiwa, dan pemberontakan hati
nurani yang tulus terhadap gejolak yang ada di sekitarnya. Dan respons yang
ia berikan, adalah ~jelmaan dari pengembaraan hati nurani yang jujur, tanpa
pretensi dan gangguan beban dari kekuatan yang ada di sekelilingnya.
Maka, tak heran, akibat kejujuran yang ia sebar melalui syair-syairnya itu,
Iwan sering berbenturan dengan "tembok-tembok kekuasaan". Ia pun "dice~kal"
di mana-mana. Puncak perbenturan itu terjadi pada 1989, saat tur
pertunjukkan 100 kota Iwan digagalkan oleh Kapoltabes Palembang.
Air mata Iwan pun menggenang saat membuka lembaran kelabu di tahun 1989 itu.
Dan ia mendesah dengan suara yang agak parau, "Buatku sungguh aneh. Aku kan
cuma bawa gitar kayu dan tali senar. Tak ada bahayanya dibanding tank,"
ujarnya ketika menutup pintu mobil, sambil mempersilakan kami berbincang di
ruang tamu rumahnya, di kawasan Bintaro. Di Garasi rumah itu, tampak mobil
lain Iwan, Daihatsu Taft, warna biru.
Pemegang Dan II Karate ini cuma ingin bersaksi bahwa lirik lagu yang ia
ciptakan bukan anggur atau jeantonic yang dapat memberikan kenikmatan bagi
peminumnya, melainkan hanya setetes air putih --penyuci akal yang tanpa
hati. Dan ia tak berpretensi apa-apa. "Kalau mau dicekal, silakan saja. Tapi
itu tidak akan mence~kal imajinasi dan kreativitasku," papar Iwan dengan
nada tegas.
Bagi suami Rossana (36), serta ayah Galang Rambu Anarki (14) dan Anisa Cikal
Rambu Bassae (11), kejadian itu memberikan kekuatan baru dalam menapaki
garis hidup yang ia tempuh --garis hidup di jalur musik. Sosok yang pernah
diklaim sebagai Bob Dylan-nya Indonesia ini makin yakin bahwa musik adalah
sesuatu yang serius dan penuh dengan irama kehidupan yang menghentak.
Ziarah Batin. Kehidupan jalanan membawa Iwan terdampar di setiap lembah yang
penuh kemuraman. "Aku sempat terbuai minuman, mabok-mabokan, dan ganja. Tapi
itu dulu. Hanya saja aku selalu menemukan jalan keluar. Hubunganku dengan
Dia lebih kuat dari semuanya. Aku bisa nangis dan sujud sama Dia," ujar
Iwan.
Iwan merasakan betul sentuhan batin Rendra. "Aku lebih baik dibilang
terpengaruh Mas Willy (panggilan akrab Rendra --Red. ) ketimbang siapa pun,
termasuk Bob Dylan." Iwan memang pernah terlibat di Bengkel Teater Rendra.
Menurut Iwan, "Mas Willy dan teman-teman Bengkel Teater juga memberi ingatan
perihal detail dan soal kedalaman pada lagu-laguku."
Memasuki paruh tahun 1990-an, Iwan kelihatan makin "alim". "Aku mulai
shalat. Meski masih cemang-cemong (bolong-bolong), ya.. paling tidak
shalatku merupakan bagian kontemplasiku," ungkap penyanyi yang menjadi idola
anak muda ini. Hanya saja, sampai sekarang, menurut pengakuan Iwan, ia masih
sulit bangun pagi untuk shalat Subuh.
"Yos --panggilan sang istri-- yang rajin shalat. Bahkan, untuk kegia~tan
lain, seperti setiap Senin sore, di rumah ada guru mengaji, aku nggak ikut.
Hanya Yos, Galang, dan Cikal saja. Kalau aku ikut, bisa-bisa aku yang
ngajarin guru ngaji untuk nyanyi," ucapnya, diiringi derai tawa dan kepulan
asap rokok kretek Djarum 76-nya.
Dunia Ngamen. Lewat pergulatan panjang dan benturan-benturan hidup yang
dilaluinya, Iwan Fals, yang dilahirkan 3 September 1961 di Jakarta, dan
menikah pada usia 19 tahun, menjalani hidup penuh kontroversi.
Anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan Kol (Purn.) Harsoyo dan Lies
ini meminati dunia tarik suara sejak masa kanak-kanak. Harmonika yang diberi
oleh uyut , neneknya ibu, adalah awal perkenalan Iwan dengan perangkat
musik. Ia pun menyanyi dan mencipta syair lagu ketika masih duduk di bangku
sekolah dasar. Tamat SD, ia sempat mukim di Jeddah, selama 9 bulan,
mengikuti orang tua angkat. "Aku sempat sekolah di sana. Muridnya cuma tiga.
Karena muridnya sedikit, aku nggak bisa nyontek . Bosan, dan akhirnya
kembali ke Indonesia," papar Iwan sambil bercanda.
Di bangku SMP 5 Bandung, gitar hadiah orang tuanya juga memberi andil dalam
perjalanan hidup Iwan. "Dunia ngamen aku jalani ketika masih duduk kelas
satu SMP. Itu karena uang saku bulanan cuma Rp 10.000. Itu kurang sekali
waktu itu. Terpaksa ngamen . Dari pagi sampai magrib bisa dapat Rp 4.000.
Lalu keterusan," aku Iwan mengenang masa lalunya.
Suatu ketika ia ngamen di kompleks Akabri, Jalan Sahardjo, Jakarta, di satu
rumah yang ramai oleh ibu-ibu arisan, Iwan tersentak. Ternyata ibunya salah
satu dari peserta arisan di kompleks Akabri tersebut. Ia pun dihardik.
Namun ayahnya mendukung aktivitas Iwan. "Aku dapat dukungan dari Bapak,
meski mulanya dia juga nggak suka. Dia nanya , apa aku yakin dengan jalan
hidup yang kuambil. Aku bilang, 'Ya.'"
Usai SMP, Iwan sempat mengenyam SMA di Yogyakarta, meski akhirnya
menyelesaikan di ibu kota pada tahun 1979. Dan ngamen jalan terus. "Aku
pernah disiram kopi panas, ketika ngamen di daerah Bandung. Ya.. aku terima
saja. Kita kan nggak diundang. Harus siap menghadapi risiko," kenang Iwan
sambil mengumbar senyum.
Iwan pun sempat menikmati bangku kuliah di Sekolah Tinggi Publi~sistik,
Jakarta (kini IISIP) --tak selesai-- sembari terus ngamen . Sejak di sarang
wartawan inilah namanya mulai menghiasi halaman media massa. Dan album
pertamanya, Oemar Bakri (1981), meledak.
Suara azan di siang hari ikut serta menyemarakkan perbincangan kami. Yos
bergegas ke kamar mandi, membasuh wajah dan menyucikan bagian badannya yang
lain, untuk shalat Zuhur. Cikal pulang sekolah. Dan Galang, sudah empat hari
tak terlihat di rumah. Dua pembantunya, mondar-mandir. Sementara di luar
rumah, dua orang pekerja kebun memunguti daun-daun yang berserakan di taman,
sambil memangkas ranting-ranting pohon.
"Meski rumah kontrakan, aku betah. Insya Allah, enam bulan lagi kami pindah
ke rumah sendiri, di Desa Leuwiang, Pondok Gede," ungkap Iwan, yang sedang
membangun rumah bertingkat dua di area tanah seluas 3.000 meter. Ia ingin
tenang menjelang pemilu. Menyaksikan perubahan. "Banyak orang bilang aku
Golput. Padahal setiap pemilu, aku tusuk semua gambar kontestan yang ada.
Karena kebetulan aku suka warna dasar kuning, hijau, dan merah...," gurau
Iwan, menutup perbincangan kami.
Edy A. Effendi
----------------------------------------------------------------------------
Demokrasi Nasi di Negeri Petani
April 1984 di Pekanbaru, memegang gitar dan harmonika, menyanyikan lagu
Demokrasi Nasi dan Mbak Tini (dua lagu yang tak pernah ada di albumnya),
menyeret Iwan beruru~san dengan Korem 031 Pekanbaru. Lagu Demokrasi Nasi
dianggap mengganggu stabilitas. Akhirnya, Iwan ditahan dan diinterogasi.
"Aparat keamanan nyuruh aku bikin lagu seperti lagunya Rinto Harahap dan A.
Riyanto. Ya, jelas, dong, nggak bakalan laku," ujar Iwan sambil menyibak
rambutnya.
Kejadian serupa terjadi di Bandung, 2-3 Maret 1992. Usai pertunjukkan, fans
Iwan Fals ngamuk . Iwan pun kembali berurusan dengan pihak kepolisian.
Dalam bentuk lain, ketika acara "Indonesian International Drum Festival
1993", 18 Desember 1993, botol-botol minuman, kursi-kursi serta pot-pot
bunga yang ada di sekitar panggung terbuka Pasar Seni Ancol, beterbangan.
"Tapi kenapa aku yang selalu jadi sasaran kesalahan. Padahal, soal kerusuhan
penonton, banyak faktor yang ikut mendukung. Salah satunya, ya.. kesenjangan
sosial," jelas Iwan.
Yang paling dirasakan memukul batin Iwan adalah saat tur 100 kota tahun
1989, yang sudah dirancang secara dengan matang, dihentikan oleh Kapoltabes
Palembang. Dan Iwan pun meneteskan air mata. "Aku heran. Alasan pembatalan
itu tidak jelas. Katanya ada isu per~saingan sponsor, peristiwa Lampung, dan
macam-macamlah ...," ungkap Iwan. Pencekalan Iwan banyak disebabkan oleh
lirik lagunya yang dianggap "bugil dan telanjang". Hanya saja, menurut Iwan,
selama ini belum pernah ada pernyataan resmi dari aparat bahwa lirik-lirik
lagun~ya jadi penyebab keributan.
"Mereka butuh masukan tentang siapa kita. Kritik itu penting untuk
keseimbangan, untuk kehidupan bersama. Bukankah itu juga diinginkan oleh
orang semacam Nurcholish Madjid, tentang perlunya partai oposisi, sebagai
check and balance ?" ungkit penyanyi balada itu.
Tapi, urusan cekal dan sensor lagu tak hanya dikerjakan oleh aparat
keamanan. Produser pun sering ikut campur. "Produser takut kalau-kalau
studionya ditutup. Aneh juga, Pemer~intah saja nggak pernah menyensor lirik
laguku. Mereka hanya kurang informasi. Ya.. aku sadar, aku hidup di negeri
petani, yang demokrasinya masih pakai nasi," ucap Iwan.
Saat ini, Iwan lebih betah tinggal di rumah, menemani Yos, Galang dan Cikal.
Galang, anak pertamanya, meneruskan tradisi ayahnya, main musik. Sekolah pun
dia tinggalkan ketika masih kelas dua SMP. "Aku suruh anak-anak memilih
jalan hidupnya sendiri. Sebagai orang tua, tugasku mengingatkan saja,"
komentar Iwan ketika melihat Galang malas pergi ke sekolah. [EAE]
Iwan Fals : "Saya Suka Hijau, Kuning Merah..."
Angin pagi dan rintik hujan membasahi lapangan Simpruk, Kompleks Pertamina, Kebayoran Lama. Sosok lelaki berbadan tegap itu menatap dengan nanar lapangan sepak bola yang dilumuri rintik hujan. Dia biarkan kumis dan jenggotnya tak beraturan, dengan tinggi badan 175 cm dan berat 65 kg. Juga rambutnya yang panjang.
"Kita pulang saja. Cuaca tak memungkinkan kita latihan pagi ini," ujarnya
lirih, sambil membuka pintu mobilnya.
Mobil Troover tahun 1992 warna metalik itu pun bergerak perlahan. Dan di
antara deru mesin mobil, juga tegur sapa para penjaja koran, sayup-sayup
terdengar nyanyian:
Hutanku rusak langitku bocor makanan yang aku makan tercemar ... Suara dalam
lirik lagu Hijau yang agak berat dan parau itu keluar dari lelaki bernama
Virgiawan Listanto , yang lebih dikenal dengan Iwan Fals itu.
Lagu dan album Hijau itu, yang ia buat hanya beberapa jam, konon album
termahal yang pernah ada dalam industri musik kita. Kabarnya album Hijau itu
laku Rp 300 juta. "Entahlah. Aku nggak tahu kalau sudah masuk ke persoalan
itu. Laguku laku atau tidak, itu soal kedua. Yang pertama, fungsiku
mencip~ta dan menyanyikannya," tutur Iwan ketika didesak soal kebenaran
angka jutaan pada album Hijau.
Sosok Iwan Fals memang tak bisa lepas dari rimba per~bincangan musik
Indonesia kontemporer. Terutama syair yang ia tebarkan ke wilayah publik,
yang selalu diwarnai kegalauan, kegamangan jiwa, dan pemberontakan hati
nurani yang tulus terhadap gejolak yang ada di sekitarnya. Dan respons yang
ia berikan, adalah ~jelmaan dari pengembaraan hati nurani yang jujur, tanpa
pretensi dan gangguan beban dari kekuatan yang ada di sekelilingnya.
Maka, tak heran, akibat kejujuran yang ia sebar melalui syair-syairnya itu,
Iwan sering berbenturan dengan "tembok-tembok kekuasaan". Ia pun "dice~kal"
di mana-mana. Puncak perbenturan itu terjadi pada 1989, saat tur
pertunjukkan 100 kota Iwan digagalkan oleh Kapoltabes Palembang.
Air mata Iwan pun menggenang saat membuka lembaran kelabu di tahun 1989 itu.
Dan ia mendesah dengan suara yang agak parau, "Buatku sungguh aneh. Aku kan
cuma bawa gitar kayu dan tali senar. Tak ada bahayanya dibanding tank,"
ujarnya ketika menutup pintu mobil, sambil mempersilakan kami berbincang di
ruang tamu rumahnya, di kawasan Bintaro. Di Garasi rumah itu, tampak mobil
lain Iwan, Daihatsu Taft, warna biru.
Pemegang Dan II Karate ini cuma ingin bersaksi bahwa lirik lagu yang ia
ciptakan bukan anggur atau jeantonic yang dapat memberikan kenikmatan bagi
peminumnya, melainkan hanya setetes air putih --penyuci akal yang tanpa
hati. Dan ia tak berpretensi apa-apa. "Kalau mau dicekal, silakan saja. Tapi
itu tidak akan mence~kal imajinasi dan kreativitasku," papar Iwan dengan
nada tegas.
Bagi suami Rossana (36), serta ayah Galang Rambu Anarki (14) dan Anisa Cikal
Rambu Bassae (11), kejadian itu memberikan kekuatan baru dalam menapaki
garis hidup yang ia tempuh --garis hidup di jalur musik. Sosok yang pernah
diklaim sebagai Bob Dylan-nya Indonesia ini makin yakin bahwa musik adalah
sesuatu yang serius dan penuh dengan irama kehidupan yang menghentak.
Ziarah Batin. Kehidupan jalanan membawa Iwan terdampar di setiap lembah yang
penuh kemuraman. "Aku sempat terbuai minuman, mabok-mabokan, dan ganja. Tapi
itu dulu. Hanya saja aku selalu menemukan jalan keluar. Hubunganku dengan
Dia lebih kuat dari semuanya. Aku bisa nangis dan sujud sama Dia," ujar
Iwan.
Iwan merasakan betul sentuhan batin Rendra. "Aku lebih baik dibilang
terpengaruh Mas Willy (panggilan akrab Rendra --Red. ) ketimbang siapa pun,
termasuk Bob Dylan." Iwan memang pernah terlibat di Bengkel Teater Rendra.
Menurut Iwan, "Mas Willy dan teman-teman Bengkel Teater juga memberi ingatan
perihal detail dan soal kedalaman pada lagu-laguku."
Memasuki paruh tahun 1990-an, Iwan kelihatan makin "alim". "Aku mulai
shalat. Meski masih cemang-cemong (bolong-bolong), ya.. paling tidak
shalatku merupakan bagian kontemplasiku," ungkap penyanyi yang menjadi idola
anak muda ini. Hanya saja, sampai sekarang, menurut pengakuan Iwan, ia masih
sulit bangun pagi untuk shalat Subuh.
"Yos --panggilan sang istri-- yang rajin shalat. Bahkan, untuk kegia~tan
lain, seperti setiap Senin sore, di rumah ada guru mengaji, aku nggak ikut.
Hanya Yos, Galang, dan Cikal saja. Kalau aku ikut, bisa-bisa aku yang
ngajarin guru ngaji untuk nyanyi," ucapnya, diiringi derai tawa dan kepulan
asap rokok kretek Djarum 76-nya.
Dunia Ngamen. Lewat pergulatan panjang dan benturan-benturan hidup yang
dilaluinya, Iwan Fals, yang dilahirkan 3 September 1961 di Jakarta, dan
menikah pada usia 19 tahun, menjalani hidup penuh kontroversi.
Anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan Kol (Purn.) Harsoyo dan Lies
ini meminati dunia tarik suara sejak masa kanak-kanak. Harmonika yang diberi
oleh uyut , neneknya ibu, adalah awal perkenalan Iwan dengan perangkat
musik. Ia pun menyanyi dan mencipta syair lagu ketika masih duduk di bangku
sekolah dasar. Tamat SD, ia sempat mukim di Jeddah, selama 9 bulan,
mengikuti orang tua angkat. "Aku sempat sekolah di sana. Muridnya cuma tiga.
Karena muridnya sedikit, aku nggak bisa nyontek . Bosan, dan akhirnya
kembali ke Indonesia," papar Iwan sambil bercanda.
Di bangku SMP 5 Bandung, gitar hadiah orang tuanya juga memberi andil dalam
perjalanan hidup Iwan. "Dunia ngamen aku jalani ketika masih duduk kelas
satu SMP. Itu karena uang saku bulanan cuma Rp 10.000. Itu kurang sekali
waktu itu. Terpaksa ngamen . Dari pagi sampai magrib bisa dapat Rp 4.000.
Lalu keterusan," aku Iwan mengenang masa lalunya.
Suatu ketika ia ngamen di kompleks Akabri, Jalan Sahardjo, Jakarta, di satu
rumah yang ramai oleh ibu-ibu arisan, Iwan tersentak. Ternyata ibunya salah
satu dari peserta arisan di kompleks Akabri tersebut. Ia pun dihardik.
Namun ayahnya mendukung aktivitas Iwan. "Aku dapat dukungan dari Bapak,
meski mulanya dia juga nggak suka. Dia nanya , apa aku yakin dengan jalan
hidup yang kuambil. Aku bilang, 'Ya.'"
Usai SMP, Iwan sempat mengenyam SMA di Yogyakarta, meski akhirnya
menyelesaikan di ibu kota pada tahun 1979. Dan ngamen jalan terus. "Aku
pernah disiram kopi panas, ketika ngamen di daerah Bandung. Ya.. aku terima
saja. Kita kan nggak diundang. Harus siap menghadapi risiko," kenang Iwan
sambil mengumbar senyum.
Iwan pun sempat menikmati bangku kuliah di Sekolah Tinggi Publi~sistik,
Jakarta (kini IISIP) --tak selesai-- sembari terus ngamen . Sejak di sarang
wartawan inilah namanya mulai menghiasi halaman media massa. Dan album
pertamanya, Oemar Bakri (1981), meledak.
Suara azan di siang hari ikut serta menyemarakkan perbincangan kami. Yos
bergegas ke kamar mandi, membasuh wajah dan menyucikan bagian badannya yang
lain, untuk shalat Zuhur. Cikal pulang sekolah. Dan Galang, sudah empat hari
tak terlihat di rumah. Dua pembantunya, mondar-mandir. Sementara di luar
rumah, dua orang pekerja kebun memunguti daun-daun yang berserakan di taman,
sambil memangkas ranting-ranting pohon.
"Meski rumah kontrakan, aku betah. Insya Allah, enam bulan lagi kami pindah
ke rumah sendiri, di Desa Leuwiang, Pondok Gede," ungkap Iwan, yang sedang
membangun rumah bertingkat dua di area tanah seluas 3.000 meter. Ia ingin
tenang menjelang pemilu. Menyaksikan perubahan. "Banyak orang bilang aku
Golput. Padahal setiap pemilu, aku tusuk semua gambar kontestan yang ada.
Karena kebetulan aku suka warna dasar kuning, hijau, dan merah...," gurau
Iwan, menutup perbincangan kami.
Edy A. Effendi
----------------------------------------------------------------------------
Demokrasi Nasi di Negeri Petani
April 1984 di Pekanbaru, memegang gitar dan harmonika, menyanyikan lagu
Demokrasi Nasi dan Mbak Tini (dua lagu yang tak pernah ada di albumnya),
menyeret Iwan beruru~san dengan Korem 031 Pekanbaru. Lagu Demokrasi Nasi
dianggap mengganggu stabilitas. Akhirnya, Iwan ditahan dan diinterogasi.
"Aparat keamanan nyuruh aku bikin lagu seperti lagunya Rinto Harahap dan A.
Riyanto. Ya, jelas, dong, nggak bakalan laku," ujar Iwan sambil menyibak
rambutnya.
Kejadian serupa terjadi di Bandung, 2-3 Maret 1992. Usai pertunjukkan, fans
Iwan Fals ngamuk . Iwan pun kembali berurusan dengan pihak kepolisian.
Dalam bentuk lain, ketika acara "Indonesian International Drum Festival
1993", 18 Desember 1993, botol-botol minuman, kursi-kursi serta pot-pot
bunga yang ada di sekitar panggung terbuka Pasar Seni Ancol, beterbangan.
"Tapi kenapa aku yang selalu jadi sasaran kesalahan. Padahal, soal kerusuhan
penonton, banyak faktor yang ikut mendukung. Salah satunya, ya.. kesenjangan
sosial," jelas Iwan.
Yang paling dirasakan memukul batin Iwan adalah saat tur 100 kota tahun
1989, yang sudah dirancang secara dengan matang, dihentikan oleh Kapoltabes
Palembang. Dan Iwan pun meneteskan air mata. "Aku heran. Alasan pembatalan
itu tidak jelas. Katanya ada isu per~saingan sponsor, peristiwa Lampung, dan
macam-macamlah ...," ungkap Iwan. Pencekalan Iwan banyak disebabkan oleh
lirik lagunya yang dianggap "bugil dan telanjang". Hanya saja, menurut Iwan,
selama ini belum pernah ada pernyataan resmi dari aparat bahwa lirik-lirik
lagun~ya jadi penyebab keributan.
"Mereka butuh masukan tentang siapa kita. Kritik itu penting untuk
keseimbangan, untuk kehidupan bersama. Bukankah itu juga diinginkan oleh
orang semacam Nurcholish Madjid, tentang perlunya partai oposisi, sebagai
check and balance ?" ungkit penyanyi balada itu.
Tapi, urusan cekal dan sensor lagu tak hanya dikerjakan oleh aparat
keamanan. Produser pun sering ikut campur. "Produser takut kalau-kalau
studionya ditutup. Aneh juga, Pemer~intah saja nggak pernah menyensor lirik
laguku. Mereka hanya kurang informasi. Ya.. aku sadar, aku hidup di negeri
petani, yang demokrasinya masih pakai nasi," ucap Iwan.
Saat ini, Iwan lebih betah tinggal di rumah, menemani Yos, Galang dan Cikal.
Galang, anak pertamanya, meneruskan tradisi ayahnya, main musik. Sekolah pun
dia tinggalkan ketika masih kelas dua SMP. "Aku suruh anak-anak memilih
jalan hidupnya sendiri. Sebagai orang tua, tugasku mengingatkan saja,"
komentar Iwan ketika melihat Galang malas pergi ke sekolah. [EAE]
Labels: Artikel
[Baca Selengkapnya]